Selasa, 08 April 2008

Hitam Putih Kita


Suatu hari, seorang teman datang padaku. Namanya D, sebetulnya tidak tepat kalau dikatakan teman, sebab teman adalah hubungan yang telah memakan waktu, adalah jalan bersama yang telah menempuh jauh banyak jarak. Tapi ini tidak, ia teman, tapi baru saja. Barangkali begitu.

Sore-sore menjelang aku pulang ia menghampiriku, di saat aku telah berkemas, merampungkan sisa hari yang semrawut.

"Hi..."katanya pendek. Tapi sapaan itu pasti untukku, sebab tak ada orang lain di sini selain aku. Jadi pasti sapaan itu untukku.

"Ya..." jawabku pendek pula, sebetulnya mau meneruskan, "ada yang bisa ku bantu..." tapi untaian kalimat terakir itu tidak keluar dari mulut, tercekat, tercegat.

Tubuhnya kecil, sedikit pendek, lebih pendek dari aku. Matanya cekung, dan dalam seperti sorot mata anak-anak Perang Palestina yang sering ditayang di tv. Ia memakai kaos oblong warna putih polos. Sebetulnya ia juga membawa sweater coklat lembut, tapi cara memakainya tidak biasa. Lengan baju kiri masuk ke tangan kanan, lengan kanan baju ke tangan sebelah kiri, kancingnya mengarah ke belakang dan tidak terpakai, aneh. Di lehernya melingkar seutas kalung dari kain yang biasa di pakai untuk tali gantungan telepon genggam, tapi kini yang menggantung itu adalah flash memori warna hitam, mungil dan asyik bergelayutan di lehernya yang juga kecil. Di belakangnya tersampir tas sandang yang talinya diatur mengulur berlebihan, ujung tas itu menggelayut hingga melebihi ujung pantatnya. Ia seperti gadis kecil dengan pakaian gombrong, dan segala perangkat yang menempel di badan berukuran berlebihan. Tapi ia tetap terlihat cantik.

"Saya ini kiri....." katanya memulai bercerita tanpa ku minta. Dan ceritanya begitu panjang, hingga aku harus menunggu jam pulang sampai menjelang malam.
****

Itu tadi adalah cerita fiktif yang aku karang-karang supaya tulisan ini cukup menarik. Pendahuluan yang tidak tertata secara biasa, bukan? Tapi memang itulah yang hendak aku bahas kali ini. Tentang hal-hal yang tidak biasa.

Oleh karena ego, manusia, kita ini terlalu sering memaksakan kehendak kepada orang lain. Ketika mereka tidak sepakat dengan kita, maka tanpa sadar kita akan berusaha untuk membuatnya sepakat dengan pendirian kita. Jika kita bicara, maka arah pembicaraan itu, secara tidak langsung ingin mengajak pendengarnya untuk mengiyakan ketika kita meminta persetujuannya.

Lumrahkah hal itu? Biasakah kejadian ketika kita berusaha mempengaruhi orang lain, yang selalu berbeda? Jawabannya : IYA.

Sayangnya, kesadaran dalam menghadapi perbedaan hanya sebatas itu saja-setidaknya untuk saat ini--bahwa perbedaan harus disamakan pada akhirnya. Artinya, sungguh sulit menemukan orang berpikir lumrahnya juga, ketika perbedaan semakin jauh, tanpa memberikan peran kepada perasaan untuk tersinggung ketika menyadari bahwa orang lain tidak sependapat bahkan bertolak belakang dengan ide atau opini kita.

Maka kemudian yang menjadi kenyataan adalah bahwa perbedaan lebih banyak mendatangkan masalah yang lebih besar. Ketersinggungan biasa, ketika menjangaku aras yang lebih luas akan melahirkan konflik yang rumit penyelesaianya.

Mari kita sederhanakan!

Perbedaan pada prinsipnya adalah takdir yang tidak tertolak, sebab bagi siapa saja yang meyakini adanya agama, maka perbedaan adalah titah Sang Kuasa. Bagi ummat Islam, perbedaan adalah semacam takdir yang tidak bisa tidak harus dihadapi.

Di dalam Al Quran, diakui adanya keniscayaan perbedaan, yakni antara lain dalam firmannya : "sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu ummat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepada kamu, maka berlomba-lombalah berbuat kabajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukanNya kepada kamu apa yang telah kami perselisihkan" (QS. Al Maidah[5]:48).

Menurut Prof. M. Quraysh Shihab, dalam buku Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah? memaknai bahwa manusia sejak dulu hingga kini merupakan satu kesatuan (tidak bisa bediri sendiri), dengan kata lain, manusia adalah makhluk sosial, membutuhkan pertolongan orang lain demi mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan walaupun itu bersifat pribadi.

Perbedaan adalah keniscayaan, sedang persatuan adalah keharusan yang yang harus diwujudkan. Keragaman, perbedaan adalah hal yang tidak bisa dihindari walau pada saat yang sama manusia dituntut oleh kedudukannya sebagai makhluk sosial, menyatu dalam bentuk bantu membantu dan topang menopang.

Sederhana sekaligus rumit kan?

Harus dibedakan antara perbedaan dan perselisihan. Dalam buku yang sama, Prof. Quraysh Shihab menerangkan bahwa perbedaan harus dimengerti dan ditoleransi, sedangkan perselisihan harus diatasi.

Nah yang terjadi di lingkungan kita, pada awalnya adalah perbedaan, yang kemudian disikapi secara tidak tepat, sehingga menjadikannya sebagai penyulut perselisihan.

Agama, sebagai aturan tertinggi, telah menerangkan hal ini dengan cara yang sangat gamblang. Sayangnya, kegamblangan itu tidak mudah dipahami, ketika ia kemudian dicampuradukkan dengan perasaan yang tidak mudah diatur, ego pribadi yang menyulut emosi tak terkendali.

Selanjutnya bagaimana?

Apakah perbedaan akan memasuki arena sebagai perselisihan, atau menjadikannya sebagai kekayaan kebudayaan manusia dan memurnikan kodrat yang telah diberikan oleh Tuhan.

Perselisihan sering terjadi, karena pikiran yang sempit, emosi yang mempengaruhi, dan ego tak terkendali.

Untuk itu, muncul perselisihan di mulai dari pribadi-pribadi, begitu pun solusi yang seharusnya dipakai adalah solusi-solusi yang diawali dari pribadi-pribadi. Tingkatkan pengetahuan, menyadari bahwa perbedaan adalah hal biasa, dan redam emosi ketika menentukan keputusan, barangkali adalah tips sederhana dalam membungkam perselisihan. [jp]

Tidak ada komentar: