Kamis, 20 Maret 2008

Rindu Kami Padamu*

Di penghujung maret ini, angin yang begitu kasar menghempas-hempas daun jendela kaca. Suaranya menderu-deru seperti sekawanan tentara yang sedang berlari mengejar musuhnya atau sebaliknya, terbirit-birit karena kejaran lawan. Suaranya gegap gempita, bergemuruh dan mengepulkan debu. Hari kini telah senja, di ujung langit, setumpuk awan jingga bergerak lambat-lambat, bahkan terlihat diam saja, membentuk angan-angan yang kadang dimirip-miripkan dengan sesuatu benda, ada yang seperti kambing, ada yang seperti mobil, ada pula seperti seoarang perempuan dengan rambutnya yang panjang tergerai. Begitu sejuk batas hari ini, setelah pagi hingga siang tadi, tanah ini disirami dengan air hujan. Bandung Selatan sedang masa transisi, dari musim hujan menuju kemarau.

Kelebat angin juga mengibaskan pucuk-pucuk tanaman padi yang menghampar persis di hadapanku. Ruanganku memang mengarah ke Barat, sebuah ruangan di gedung berlantai tiga yang sering kami sebut Kandang Menjangan. Ruang ini ada di pojok kiri lantai tiga gedung.

Ini hari sabtu, dan seperti biasa, kalau di ujung-ujung minggu ini anak-anak sering malas datang ke Kandang Menjangan. Berbagai alasan mereka kemukakan, dan semuanya masuk di akal. 

"Masa seminggu penuh harus kerja terus, melototin huruf setiap menit kan bosan juga. Jadi harus refeshing Kang, dan waktu yang paling tepat adalah sabtu, malam minggu..." Anto, berpamitan kepadaku sore kemarin. Dan aku hanya bisa nyengir seraya mengijinkannya untuk berlalu. Teman-teman yang lain juga begitu, lebih memilih beristirahat ketimbang harus bosan di ruang sumpek, tempat selama ini kami bekerja dan berkumpul.

Kandang Menjangan adalah sekretariat kami, sebagai sebuah unit kegiatan mahasiswa bidang penerbitan internal kampus. Pekerjaan kami adalah membuat koran mingguan, yang terbit setiap hari kamis siang.

Setelah selesai membersihkan ruangan, dengan penerangan dari cahaya keeamasan, kombinasi kuningnya warna padi pak tani, dan semburat jingga petang itu,  aku mencoba merebahkan diri di lantai yang dilapisi karpet lusuh wana merah tua. Pandangan terbentur pada deretan-deretan buku di rak yang tersusun sembarangan. Ada Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata, lengkap juga dengan dua buku lanjutannya, Sang Pemimpi dan Edensor. Trilogi buku yang bagus menurutku. Hingga saat ini, barangkali baru penulis yang rumahnya di Geger Kalong inilah yang bisa aku kagumi, seorang penulis yang jujur. Sebab setelah wafatnya Pak Pramoedya, aku tidak memiliki penulis idola. Banyak buku yang telah aku kumpulkan, tapi membacanya terasa tidak sedap, tidak ada semangat untuk menyelesaikannya. Barangkali memang benar, bahwa melahirkan sesuatu yang bernilai itu tidak mudah, begitu juga dengan melahirkan penulis yang berbakat dan baik.

Di sebelah ketiga buku itu, sengaja memang aku letakkan buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer, ada Tetralogi Buru, yang untuk mendapatkan keempat buku ini aku harus melalang buana sampai ke Jogja, empat tahun yang lalu. Boleh dikatakan, buku-buku karya Pram adalah buku yang terlengkap di rak perpustakaan kecil kami ini.

"Tiiiit...titt...tittt..." tiba-tiba Nokia yang kubiarkan tergeletak di sampingku memecah konsentrasiku. Ada sms masuk, tapi "ah dari 818 ternyata...". Kepalang tanggung, memegang hp, tidakkah sebaiknya aku kirim sms kepada gadis yang tadi ketemu di kantin. Ia dengan sengaja memberikan nomor kepadaku tadi, bukankah sudah cukup untuk memberi semangat kalau ia ada rasa padaku. Ah, pikiran gila tiba-tiba selalu muncul pada saat ada maunya. Tapi baiklah akan aku coba untuk menegurnya lewat sms.

"Hi...lagi ngapain sore ini?" 0819321..., kuketik nomor yang tadi kutulis dengan cepat-cepat di telapak tangan, karena pas ketemu tadi aku tidak membawa hp. SMS dikirim.

Tiba-tiba, setelah sms terkirim, dan laporannya aku terima, aku disergap rasa gugup yang luar biasa. Ada apa ini? Barangkali aku membayangkan gerangan kata-kata apa yang akan ia balaskan segera? Atau barangkali orangnya hanya melirik sejenak kemudian mendiamkan sms serupa yang barangkali terlalu sering masuk ke inbox di hp gadis secantik dia. "Dasar laki-laki gak punya modal..." barangkali akan begitu pikirannya. Ah tapi tidak mungkin, bukankah tadi dia yang memberikan nomor hp terlebih dahulu, itu saja sudah cukup untuk menunjukkan bahwa dia mengharapkan aku menelponnya atau mungkin juga kirim sms. Aghhhh...pikiranku berkecamuk hanya karena membayangkan apa yang akan terjadi menit-menit ke depan ini.

"Tittt...titt...tittt..." tiba-tiba suara yang kutunggu-tunggu mengagetkanku. Dengan dada berdebar aku mengamati nomor pengirimnya, 0819321..."Wah cocok, pas dari dia...". Maka segera kutekan tombol 'BUKA'.

"Aku lagi selesai nyapu kamar, eh ini nomormu ya? Kamu sendiri lagi ngapain?" hatiku berbunga-bunga mendapati sms seindah itu. Kata-katanya biasanya, tapi ketika dibaca menjelma menjadi butir-butir keindahan yang tiada terkira. 

Akhirnya petang itu kuhabiskan dengan sms-smsan dengan dia. Dan pada akhir perbincangan aku memberanikan diri untuk mengatakan "Apa aku boleh main ke rumahmu besok minggu.."

"Boleh, terserah kamu mau jam berapa. Tapi telepon dulu..." balasnya.

"Cihuyyyy teriakku.." menyambut sms balasannya. Hatiku tambah merekah. Tapi serasa ada yang aneh. Ia mengatakan terserah aku mau datang kapan, tapi harus menelpon dulu. Kenapa harus menelepon, sudah sebegitu pentingkan menelpon sekarang, hingga untuk melakukan kunjungan harus melakukan semacam ritual memencet-mencet tombol itu.
-----

Minggu, pagi menjelang siang. Kini aku berada di BSM (Bandung Super Mall), lantai paling atas. Aku sedang menunggu loket pembelian karcis bioskop buka. Aku duduk mengarah ke ruang-ruang dengan pembatas kaca gelap itu, entah di dalamnya ada orang atau tidak. Rencananya sore ini aku akan main ke rumahnya, tapi sebelumnya aku akan nonton bioskop dulu. Sebab ada film bagus yang harus aku tonton. 

Film Rindu Kami Padamu, karya Sutradara Garin Nugroho. Kemarin aku melihat iklannya di tv, bahwa hari ini adalah tayang perdana di bioskop.

Ketika loket dibuka, aku berjalan sendiri ke arah loket, rupanya film yang akan aku tonton ini tidak banyak peminatnya, kalah oleh film-film holywood yang diputar pada jam yang sama. Aku mendapat giliran pertama dan mendapatkan urutan kursi paling depan, ternyata di belakangkau mengiring tiga orang anak-beranak. Suami istri dengan anaknya yang dalam taksiranku berumur 8 tahunan.

Sebentar lagi film dimulai, dan memang benar ternyata, peminatnya tidak bertambah. Hanya aku dan satu keluarga itu. Sesampai di dalam, suasana temaram dan gelap.

Film yang bagus, pikirku. Sebuah film tentang kesederhanaan makhluk-makhluk sosial yang berada di tengah pasar. Tapi mereka memiliki nilai religi juga, di tengah kesederhanaan itu nyata ada juga cahaya yang menakjubkan. Ada ketulusan, ada kejujuran, juga ada cinta antar sesama. Ada kerukunan yang tidak dibuat-buat. Sebuah film yang memotret kehidupan yang kadang tidak kita perhatikan, lingkup-lingup sederhana yang luput dari kejaran pandangan.

Sangat kontras barangkali dengan film-film ala amerika yang kadang jauh dari realita, terlalu mengada-ngada hingga menyebabkan penontonya terbuai mimpi dan tidak realistis, tidak menjejak ke bumi. Kontras dengan tayangan-tayangan di tv yang selama ini mulai mengkhawatirkan.  

Aku merasa beruntung menonton film ini. 

Dengan kehangatan yang menjalar di dada akibat rasa puas, aku meninggalkan ruang bioskon yang sebentar lagi akan tutup. Tulisan berjalan yang ada di layar masih sempat aku perhatikan, nama-nama pemain, dan ada satu kalimat yang menarik "UNTUK IBUKU, UNTUK SEMUA IBU...", barangkali itulah tujuan dari Garin membuat film itu.
-----

Tanganku merogoh saku tempat hp biasa kusimpan. Sejak keluar mall tadi sudah ada sedikit kekhawatiran, dan ternyata memang benar, hpku ternyata lupa aku hidupkan.

"Celaka, jangan-jangan tadi dia menghubungi aku..." pikirku panik, mengumpati kebiasaan teledorku.

Tombol power kuhidupkan. Dan setelah hp standby, memang ada pesan masuk. Ah, dari 0819321...

"Maaf, tadi aku mencoba menghubungimu, tapi tidak bisa. Kita tidak bisa ketemu...". Lemas dan buyar sudah harapanku. [jp]

---
ket: judul cerpen ini adalah sama dengan judul film dan buku Rindu Kami Padamu, karya Garin Nugroho

Tidak ada komentar: